Pages

Tuesday, September 22, 2009

Butuh Kosa Kata Lain

Istighfar kepada Allah hari ini saya panjatkan,
karena keterbatasan manusia, pakdhe yang selaku ayah asuh saya tumpah emosinya. Entah ada apa sehingga saya yang harus dijadikan objek nesu-nesunya sesuka hati mengabaikan unsur-unsur hak balas emosi seorang anak.
Pada saat itu sayangnnya saya sedang dihampiri oleh tamu bulanan layaknya wanita biasanya, dan membuat saya semakin ingin melemparkan botol dot balita ke kepalanya yang sungguh tidak kongruen dengan harapan mur-baut dalam pikiran dan logikanya dapat bekerja normal seperti semula namun apa daya posisi saya hanya seorang keponakan yang terlalu banyak oceh dan langganan membuat dosa-dosa serta penghujatan dalam bahasa jawa kasar (ngoko).

Setelah itu hidup saya hari ini diisi dengan kegiatan-kegiatan yang benar-benar membuat saya hampir patah tulang iga serta tulang kering, kulit telapak tangan mengelupas akibat mencuci piring dan baju dengan cara konvensional. Letih dengan acara bersih-bersih rumah, harusnya saya kerjakan hal-hal unik menggelitik sebagai terapi tertawa bagi otak, tapi keadaan mood sedang tidak ingin melakukan apapun. Malah mood saya berada di klimaks muring-muring atau sambat sehingga diputuskan untuk merokok hingga titik darah penghabisan dan akhirnya tertidur.

Aktivitas rutin seperti biasa (menyambangi basecamp Rescue) pun belum dapat saya dikerjakan karena adanya berbagai alasan tidak eksplisit manfaatnya dari Ibu, mulai dari ceramah tentang kewajiban seorang anak berjenis kelamin perempuan di rumah hingga bengisnya Rezim Soeharto yang tidak dapat dimengerti apa maksud dan tujuan pembicaraan Ibu terhadap saya walaupun intinya hanya menelan waktu agar saya tidak keluar dari gerbang dan tetap berada di rumah. Apakah suatu kesalahan apabila saya pergi bermain layaknya seorang remaja puber sebagai senang-senang bermanfaat menimbun pengalaman, daripada hidup saya habis di dapur dan tumbuh sebagai kaum wanita nurut pada suami dan mengabdi untuk bangsa dan negara? Sungguh pemikiran yang kolot bagi saya karena zaman sudah berubah dengan emansipasi dimana-mana, tak ada perbedaan bagi remaja dan para lanjut usia. Seorang kakek berusia 70 tahun pun dapat masuk diskotik dengan damai, aman, tentram sejahtera (tentu tanpa adanya teror bom yang menjamur akibat munculnya para teroris kelas Alm. Noordin M. Top dan Alm. Dr. Azhari) menikmati musik jedak-jedung sedangkan saya harus tetap diam di rumah memandangi kompor gas elpiji seberat 12kg dan teflon berisi rendang juga sambal goreng ati sisa konsumsi hari raya kemarin.

---

No comments:

Post a Comment